Skip to main content

SENI TARI TRADISIONAL PULAU SEMAU

Wahana Mencari Jodoh Hingga Memupuk Persaudaraan

"Pulau Semau" di NTT_____;
''Li Ngae'' tak sekadar tarian tradisional yang dipentaskan untuk memeriahkan setiap seremoni adat Helong. Lebih dari itu, "Li Ngae" ternyata jadi wahana mencari jodoh bagi kawula muda suku Helong di Pulau Semau.

SEIRING dengan perkembangan jaman, Tari "Li Ngae" pada era 1970-an sering dipentaskan pada seremoni adat Helong maupun setiap musim panen jagung. "Li Ngae" biasanya digelar oleh orang yang hasil panen jagung-nya melimpah. Itulah sebabnya Tarian Tradisional ini tergolong cukup mahal karena untuk menggelarnya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.


Orang Helong yang hasil panennya melimpah, cenderung merasa kuatir bila hasil panen jagung-nya rusak diserang kutu jagung. Sehingga, "Li Ngae" selalu jadi solusi, dimana orang Helong akan bersama-sama menari "Li Ngae" dengan menginjak pipilan jagung yang telah dicampurkan abu bakaran kayu Kesambi di dalam sebuah wadah berbentuk persegi berukuran 10 x 10 meter beralaskan tikar daun pandan.

Yohanis Laiskodat yang juga warga desa Otan, mengaku Tarian "Li Ngae" atau dikenal juga dengan Buk Pariki atau tarian Injak Jagung itu, juga merupakan sebuah sistem pengawetan jagung. “Jadi jagung hanya bisa dicampur dengan abu bakar kayu kesambi, dan terbukti jagung akan awet hingga beberapa tahun,” jelas Yohanis.

Yohanis bercerita, bila pada zaman dahulu di Pulau Semau, hanya orang berada saja yang bisa menggelar "Li Ngae". Sebelum digelar, informasi tentang "Li Ngae" akan dengan cepat tersiar ke seluruh penjuru pulau dengan nama asli Nusa Bungtilu itu. Tanpa diundang pun, siapa saja orangnya apalagi kawula muda yang mengetahui adanya "Li Ngae", pasti akan datang dan menari bersama.

“Dahulu kala, kalau orang dengar ada "Li Ngae", walau jaraknya sangat jauh sakalipun, pasti akan ditempuh oleh orang Helong tanpa ada batasan usia. Tidak perlu diundang pun mereka pasti akan datang sendiri,” jelas kakak kandung dari Viktor Bungtilu Laiskodat ini.

Tak hanya itu, "Li Ngae" selalu jadi wahana mencari jodoh bagi kawula muda. Buktinya, tak sedikit pasangan suami istri suku Helong di Pulau Semau pada era tahun 1970-an yang mengawali perkenalan mereka saat ber-"Li Ngae" bersama.

Ibarat pepatah usang mengatakan cinta berawal dari mata barulah turun ke hati. Begitu kisah kawula muda Helong kala itu. Berawal dari saat ber-"Li Ngae" ada perkenalan, ada persahabatan, ada pemahaman, ada pula perhatian, lalu timbul ketertarikan, di'ikuti munculnya benih-benih cinta hingga berakhir pada saling mengungkapkan cinta. Itulah fakta dan pengakuan anak muda Helong saat itu tentang betapa pengaruhnya "Li Ngae" dalam kisah asmara mereka.

Sementara itu, Ketua Majelis Jemaat GMIT Getsemani Otan, Pdt. Ishak Selan, S.Th menilai, "Li Ngae" sebagai tarian kasih persaudaraan yang rukun dan bukti pengalaman dan penghayatan orang Helong akan pernyataan Allah dalam kasih persaudaraan yang rukun.

Kala itu, jelas Pdt Ishak, ketika orang Helong yang ditawan Jepang kembali dari pembuangannya, mereka membawa serta budaya tarian "Li Ngae" untuk dijadikan sebagai budaya orang Helong. “Ada dua manfaat yang terkandung dalam tarian "Li Ngae" yakni untuk mengawetkan jagung dari serangan kutu jagung yang bisa merusak biji jagung, tetapi di sisi lain juga bermanfaat mengawetkan hubungan kekeluargaan sehingga tidak diserang oleh virus perpecahan,” ujarnya.

Baginya, "Li Ngae" merupakan tarian penghibur dikala orang Helong tertindas, dan sekaligus pertanda bahwa orang Helong sejak zaman dahulu sudah mampu beradaptasi dengan orang lain di luar Pulau Semau.

“Biasanya dengan melagukan syair pantun secara berbalas-balasan, "Li Ngae" akan terus dilakukan hingga subuh menjelang. Syair pantun yang dilagukan, harus saling melengkapi makna, jika tidak maka "Li Ngae" tidak akan dihentikan, karena menurut kepercayaan, pantangannya seseorang bisa menderita sakit kalau melakukannya,” sebutnya.

Dikatakan, dengan adanya kerukunan hidup persaudaraan yang ditampilkan melalui tarian "Li Ngae", yang telah tercipta melalui sebuah sejarah pergumulan hidup dari mereka yang teraniaya karena kerja paksa saat itu, maka berkat-berkat Tuhan dapat dirasakan tidak saja bagi mereka dimasa lalu tetapi juga bagi kita di masa kini, dan bagi anak cucu dimasa depan yang masih terus mewarisi budaya tarian "Li Ngae".

Menurutnya, berkat-berkat itu adalah kesukaan yang terkait dengan keharuman, dimana tidak ada kesukaan yang ceria jika kita tidak rukun. “Saudara kita yang melakukan kerja paksa saat itu, mereka tidak saja tertekan secara fisik, tetapi mereka juga mengalami tekanan batin atau kejiwaan. 

Karena itu melalui tarian "Li Ngae" mereka saling membangkitkan kesukaan dan keceriaan demi menghilangkan rasa lelah karena bekerja secara paksa seharian sekaligus mengobati luka bathin karena mereka hidup jauh dari keluarga di kampung halaman,” sebut Pdt Ishak.

Ia menambahkan hidup rukun yang tergambar dalam tarian "Li Ngae" membawa keharuman atau nama baik atau dalam bahasa Helong disebut "Kil Ngal Banan", tetapi jika sebaliknya maka akan membawa kecemaran atau "Kil Ngal Dat".

Selain itu, lanjut Pdt Ishak, hidup rukun mendatangkan ketentraman karena kerukunan kekeluargaan yang tergambar dalam tarian "Li Ngae" juga mendatangkan ketentraman. “Saudara-saudara kita saat itu memanfaatkan tarian "Li Ngae" agar fisik dan batin mereka menjadi tentram dan nyaman, walau pun mereka sedang berada dalam tawanan kerja paksa. 

Lagi pula mana ada hidup tentram kalau kita tak hidup rukun. Barangkali kita hidup berkelimpahan harta, tetapi kalau tidak rukun maka tidak ada ketenangan bathin,” imbuhnya lagi. 

Baginya, hidup rukun berarti membawa hidup yang disucikan. Dalam hidup yang rukun setiap pribadi akan berusaha melakukan yang terbaik bagi orang lain. “Ini bukan berarti perbedaan. Bukan!!. Ada perbeda'an tetapi penyelesaian, sebab ada kerinduan untuk hidup rukun. Orang yang mau hidup rukun mempunyai kemampuan untuk meminta ampun dan mengampuni saudaranya yang bersalah.


Comments

  1. Upaya pelestarian dan memperkenalkan Budaya Helong kepada generasi kini, baik itu bagi Putra-Putri Helong sendiri ataupun dunia luas, bahwa inilah Tarian Helong. Artikel ini sangat baik, dengan begitu kami tahu dan mengenal akan Budaya Helong lebih dalam lagi. Terima Kasih atas postingannya. Mohon Ijin untuk di share

    ReplyDelete

Post a Comment

Terimakasih anda telah berkunjung, salam Damai.

Popular posts from this blog

LUMUT (Pengertian, Ciri-ciri, Klasifikasi, Siklus dan Manfaat Lumut)

1. Pengertian Lumut (Bryophyta) Lumut merupakan kelompok tumbuhan yang telah beradaptasi dengan lingkungan darat. Kelompok tumbuhan ini penyebarannya menggunakan spora dan telah mendiami bumi semenjak kurang lebih 350 juta tahun yang lalu. Pada masa sekarang ini Bryophyta dapat ditemukan disemua habitat kecuali di laut (Gradstein,2003).

Seni Tari "Li Ngae" Kembali Dilestarikan Setelah Nyaris Ditelan Zaman

PAGELARAN FESTIVAL SENI TARI ''LI NGAE'' Di Pantai Otan Pulau Semau Setelah nyaris ditelan hiruk pikuk zaman, Li Ngae sebagai tarian khas suku etnis Helong, muncul kembali dalam sebuah pagelaran lomba di Pulau Semau. Nusa Bungtilu pun tersenyum melihat Li Ngae kembali dilestarikan anak-anaknya. Seperti apa ceritanya?