Skip to main content

Seni Tari "Li Ngae" Kembali Dilestarikan Setelah Nyaris Ditelan Zaman

PAGELARAN FESTIVAL SENI TARI ''LI NGAE''
Di Pantai Otan Pulau Semau

Setelah nyaris ditelan hiruk pikuk zaman, Li Ngae sebagai tarian khas suku etnis Helong, muncul kembali dalam sebuah pagelaran lomba di Pulau Semau. Nusa Bungtilu pun tersenyum melihat Li Ngae kembali dilestarikan anak-anaknya. Seperti apa ceritanya?

di, Pantai Otan-Pulau Semau-Kupang-NTT,--
JUMAT 26 Oktober 2012 merupakan tonggak sejarah kebudayaan warga suku Helong yang mendiami Pulau Semau. Ini jadi momentum penting, karena tarian Li Ngae atau lebih dikenal dengan sebutan tarian Injak Jagung yang telah puluhan tahun menghilang, mulai dilestarikan kembali dan dipentaskan secara akbar dalam ajang festival seni dan budaya di Pantai Otan, Pulau Semau.

Kemeriahan festival Li Ngae sangat terasa, walau hanya diikuti enam desa di kecamatan Semau dan Semau Selatan. Lebih kurang seribuan pasang mata, menjadi saksi bangkitnya Li Ngae yang memang wajib dilestarikan agar tidak punah dimakan zaman.

Boleh dikata, diantara beraneka ragam tarian dari pelosok NTT bahkan Indonesia, tari Li Ngae atau Lei Usin ternyata termasuk dalam kategori seni tari yang sangat unik dan menarik. Keunikan tari Li Ngae ini terletak pada kekompakan gerakannya yang sangat menakjubkan. 

Para penari Li Ngae yang lengkap mengenakan busana adat Helong itu, bergerak serentak dalam formasi sebuah lingkaran, dan sambil perpegangan tangan melantunkan syair pantun secara berbalasan dalam sebuah wadah yang dibuat kota persegi empat dan di dalamnya dirisi jagung pipilan.

Salmon Bisilisin, seorang tokoh suku Helong, mengatakan, menurut penuturan sejarah, asal muasal terciptanya tarian Li Ngae ini bermula dari kehidupan orang–orang yang berasal dari latar belakang suku, agama, dan ras yang berbeda.

Kala itu, urai Salmon, orang-orang itu diangkut oleh tentara Jepang untuk dipekerjakan sebagai pekerja paksa. Mereka berasal dari suku Helong, Rote, Timor, Sabu, Alor dan Belu. Mereka diangkut dari kampung halamannya masing-masing, meninggalkan sanak keluarga, untuk dipekerjakan sebagai pekerja jalan yang menghubungkan antara Kupang hingga Noelmina (Perbatasan Kabupaten Kupang dan TTS).

Apabila malam tiba, cerita Salmon, orang-orang itu dikumpulkan kembali di bawah sebuah tenda, dan mulai berbagi makanan dan minuman, termasuk berbagi cerita suka-duka dalam bekerja, serta kehidupan kekeluargaan di kampung halaman mereka yang penuh dengan kedamaian dan kerukunan itu.

Diujung dari berbagi cerita itu, mereka lalu membentuk sebuah lingkaran sambil melantunkan syair pantun berbalas-balasan, dalam satu tarikan napas mereka menghentakan kaki dan mengayunkan badan mengikuti irama pantun dalam keharmonisan. 

Dikatakan, syair-syair pantun itu membakar semangat mereka untuk terus mempertahankan bahkan meningkatkan kerukunan persaudaraan di antara mereka. Walau pun mereka berbeda suku, agama dan ras, tetapi semuanya merasa senasib sebagai orang-orang tawanan dan dipekerjakan secara paksa.

Sementara itu, Simon Petrus Pallo, salah satu putera Helong, mengaku menyadari bahwa seni merupakan bagian dari kehidupan dan sebagai cerminan budaya dan adat istiadat kebiasaan satu daerah maupun etnis yang dibangun secara turun menurun. 

“Dalam perkembangan, beragam adat istiadat dan budaya bisa berkembang pesat, maju dan lestari sehingga menjadi potensi pembangunan, aset yang dapat menjadi peluang industri, dan bisnis pariwisata,” sebutnya.

Sebaliknya, kata Pace Pallo, sapaan karibnya, tidak dipungkiri sebagai budaya, adat istiadat dan seni asli berupa etnis atau daerah dirasakan lumpuh tidak berkembang bahkan diprediksi akan punah dan pergaulan beberapa tahun mendatang termasuk bahasa, budaya adat istiadat, dan seni etnis Helong.

“Sebagai putera keturunan Helong, saya merasa prihatin karena kenyataan di depan mata, bahasa Helong kurang digunakan dalam pergaulan sehari-hari, termasuk saya dan pasti banyak lagi. Salah satu contoh, anak-anak kecil di Semau sini kalau kita tegur dengan bahasa Helong, dibalas dengan bahasa Indonesia bahkan nenek-bai ikut berlaku bahasa Indonesia. 

Memang tidak salah, tetapi sayang bila bahasa Helong ditingal punah. Bahasa saja sudah begitu, apalagi budaya adat istiadat dan seni yang pakai bahasa Helong, tentu akan lebih cepat punah seperti tari Li Ngae ini,” sebut Pace yang juga Kepala Cabang PT Hasrat Abadi Kupang.

Pace melanjutkan, suatu masalah dasar yang patut disikapi sekarang ini adalah jabatan kaka ama atau tua marga. Baginya, pihak pemangku adat, nampaknya perlu mendapat apresiasi dan dukungan karena ke depan, akan semakin sulit keberadaannya karena berbagai hal utama menyangkut kesejahteraannya, sehingga diperlukan wadah kebersamaan sebagai bagian dari lembaga kemasyarakatan. 

"Jadi kegiatan ini memiliki tujuan positif dalam mengangkat seni budaya dan adat istiadat Helong serta membangun suatu forum bersama kaka ama sebagai wadah dalam menunjang program ke depan,” jelasnya. 

Meski tujuan adalah untuk melestarikan budaya Helong, namun untuk lebih meriah, tarian itu di lombakan antar desa. Dalam festival seni budaya tarian Li Ngae tahun 2012 itu, keluar sebagai juara pertama adalah desa Otan, dan berturut-turut diikuti desa Ui Asa diperingkat dua, Batu Inan (peringkat III), Uitiuhtuan (peringkat IV), Huilelot (peringkat V), dan Uiboa (peringkat VI). _____(bersambung)


Comments

Popular posts from this blog

SENI TARI TRADISIONAL PULAU SEMAU

Wahana Mencari Jodoh Hingga Memupuk Persaudaraan "Pulau Semau" di NTT_____; ''Li Ngae'' tak sekadar tarian tradisional yang dipentaskan untuk memeriahkan setiap seremoni adat Helong. Lebih dari itu, "Li Ngae" ternyata jadi wahana mencari jodoh bagi kawula muda suku Helong di Pulau Semau. SEIRING dengan perkembangan jaman, Tari "Li Ngae" pada era 1970-an sering dipentaskan pada seremoni adat Helong maupun setiap musim panen jagung. "Li Ngae" biasanya digelar oleh orang yang hasil panen jagung-nya melimpah. Itulah sebabnya Tarian Tradisional ini tergolong cukup mahal karena untuk menggelarnya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

LUMUT (Pengertian, Ciri-ciri, Klasifikasi, Siklus dan Manfaat Lumut)

1. Pengertian Lumut (Bryophyta) Lumut merupakan kelompok tumbuhan yang telah beradaptasi dengan lingkungan darat. Kelompok tumbuhan ini penyebarannya menggunakan spora dan telah mendiami bumi semenjak kurang lebih 350 juta tahun yang lalu. Pada masa sekarang ini Bryophyta dapat ditemukan disemua habitat kecuali di laut (Gradstein,2003).