SMA Tanpa Guru di Kupang
Kupang - Bisa disebut sekolah, jika ada guru dan murid, kemudian ada tempat belajar mengajar. Jika ada tempat belajar dan ada murid, tetapi tanpa ada guru? Ini dia yang terjadi di SMA Semau Selatan di Pulau Semau, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Hingga saat ini sekolah tersebut belum memiliki guru, sehingga proses kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah tersebut tidak berjalan normal.
"Dari dua sekolah di Kecamatan Semau, satu sekolah di antaranya tidak miliki guru sehingga proses KBM praktis tidak berjalan," kata Kepala Bagian Humas Setda Kabupaten Kupang, Petseraen Amtiran di Kupang, Sabtu.
Pihaknya mengetahui bahwa di sekolah tersebut belum memiliki seorang guru, setelah Bupati Kupang, Ayub Titu Eki melakukan peninjauan ke sekolah tersebut pada Jumat (16/10).
Dalam proses KBM, katanya, 56 murid kelas I dan II di SMA tersebut terpaksa diasuh oleh seorang guru SMPN II Semau Selatan, karena SMA tersebut masih numpang di gedung SMPN II Semau Selatan. "Proses KBM untuk SMA dilakukan pada sore hari. Paginya digunakan oleh siswa SMP dengan guru yang sama," katanya.
"Dari dua sekolah di Kecamatan Semau, satu sekolah di antaranya tidak miliki guru sehingga proses KBM praktis tidak berjalan," kata Kepala Bagian Humas Setda Kabupaten Kupang, Petseraen Amtiran di Kupang, Sabtu.
Pihaknya mengetahui bahwa di sekolah tersebut belum memiliki seorang guru, setelah Bupati Kupang, Ayub Titu Eki melakukan peninjauan ke sekolah tersebut pada Jumat (16/10).
Dalam proses KBM, katanya, 56 murid kelas I dan II di SMA tersebut terpaksa diasuh oleh seorang guru SMPN II Semau Selatan, karena SMA tersebut masih numpang di gedung SMPN II Semau Selatan. "Proses KBM untuk SMA dilakukan pada sore hari. Paginya digunakan oleh siswa SMP dengan guru yang sama," katanya.
Selain itu, para guru SD, SMP dan SMA di Kecamatan Semau juga mengeluhkan kurangnya guru di kecamatan tersebut, terutama guru geografi yang sama sekali tidak ada. Padahal, di daerah tersebut sangat dibutuhkan guru geografi, katanya mengutip keluhan para guru setempat.
"Masalah lainnya adalah minimnya ketersediaan air bersih bagi sekolah-sekolah yang ada," katanya.
Dia mengungkapkan, Bupati Kupang pada kesempatan itu meminta Kepada Dinas Pendidikan setempat untuk segera menyelesaikan persoalan di sekolah-sekolah yang ada di Kecamatan Semau. Bupati juga mengingatkan kepada seluruh Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ditempatkan di wilayah kecamatan tersebut agar melakukan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat, karena tugas utama PNS adalah sebagai pelayan masyarakat.
"PNS harus melakukan hal yang baik sebagai contoh kepada masyarakat, maka dengan demikian masyarakat juga akan melakukan seperti apa yang kita diinginkan," katanya. Bupati Kupang juga meminta agar masyarakat terus memantau kinerja PNS di kecamatan tersebut, jika ada pegawai yang tidak aktif dilaporkan sehingga diberikan sanksi.
"Masalah lainnya adalah minimnya ketersediaan air bersih bagi sekolah-sekolah yang ada," katanya.
Dia mengungkapkan, Bupati Kupang pada kesempatan itu meminta Kepada Dinas Pendidikan setempat untuk segera menyelesaikan persoalan di sekolah-sekolah yang ada di Kecamatan Semau. Bupati juga mengingatkan kepada seluruh Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ditempatkan di wilayah kecamatan tersebut agar melakukan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat, karena tugas utama PNS adalah sebagai pelayan masyarakat.
"PNS harus melakukan hal yang baik sebagai contoh kepada masyarakat, maka dengan demikian masyarakat juga akan melakukan seperti apa yang kita diinginkan," katanya. Bupati Kupang juga meminta agar masyarakat terus memantau kinerja PNS di kecamatan tersebut, jika ada pegawai yang tidak aktif dilaporkan sehingga diberikan sanksi.
Tolong kami kembali ke Sekolah
(kcm)
--------------------------------------------------------------
Apa suwanggi bisa menyediakan dana Rp. 65 juta?
Pada mulanya Denny R. Riwu (33) sempat khawatir ketika team leader PT Griska Cipta menempatkannya sebagai Konsultan Lapangan (KL) untuk pembangunan Sekolah Satu Atap (SATAP) di Desa Semau- desa di Pulau Semau yang terletak di sebelah tenggara Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Pasalnya, pulau ini sangat terkenal dengan suwangginya alias ilmu hitam. “Percaya tidak percaya, tapi jika ingin selamat sampai ke seberang, cukup berdo’a dan jangan buka mata sepanjang perjalanan.” kata Denny.
Perjalanan laut ke pulau ini hanya memakan waktu 30 menit. Di pulau itu terdapat delapan sekolah dasar, dua sekolah menengah pertama dan satu sekolah menengah atas. Setiap tahun sekitar 400 murid lulus dari sekolah dasar. Sayangnya, sebagian besar mereka tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Sebuah SATAP di desa itu hanya mampu menampung 20 siswa untuk kelas 7. Selebihnya, terpaksa ke luar pulau atau malah putus sekolah.
Kondisi yang memperihatinkan ini membulatkan tekad Denny dan berjuang melawan rasa takutnya. Di kepalanya hanya ada satu pikiran, bagaimana caranya agar anak-anak Semau ini juga bisa menikmati pendidikan dasar sembilan tahun.
Selama sebulan Denny menjalankan sebuah “pergumulan”. Setiap hari, jika ada kesempatan, ia melakukan sosialisasi untuk meyakinkan masyarakat mengenai pentingnya pembangunan SATAP ini. Mulanya, masyarakat mengacuhkannya, malah banyak yang menantang kalau ia tak akan berhasil membangun sekolah yang didanai dari Program Pendidikan Dasar Kerjasama Australia Indonesia (AIBEP) ini. Tapi sarjana teknik lulusan Universitas Katolik Waidyamandira ini tak gentar dan menerima tantangan itu.
Beberapa kali ia mengadakan pertemuan, mengundang para tokoh masyarakat dan orang tua murid untuk membahas pembangunan sekolah. “Saya datang ke sini atas perintah anak-anak Bapak dan Ibu. Mereka ingin punya masa depan. Dan itu artinya, mereka harus punya sekolah,” ujarnya. Pada saat yang sama, ia terus berdoa dan meminta agar Sang Maha Kuasa memudahkan jalannya. “Pokoknya, tak ada yang lebih membulatkan kecuali anak-anak itu bisa sekolah,” ujar mantan konsultan kantor dinas Pendidikan di Kabupaten Flores itu.
Pergumulan itu rupanya membuahkan hasil. Perlahan tapi pasti, masyarakat akhirnya mulai yakin.
Hebatnya, masyarakat tak hanya setuju sekolah itu dibangun, tapi mereka juga bersedia berpartisipasi.
Setiap hari Sabtu dan Minggu kepala desa mengatur kelompok kerja untuk mencongkel baru-batu dari lahan sekolah. Maklum, seperti halnya di wilayah lain di Kupang, tanah di Semau juga sangat keras dan berbatu-batu. Sementara kelompok ibu-ibu secara sukarela menyiapkan makanan untuk para pekerja.
Anak-anak pun tahu mau kalah, setiap hari mereka membawa sebotol air untuk menyirami tanah sekolah. “Mereka semangat sekali untuk membangun sekolah itu,” ujar Alexander Setiadji, Auditor Invetigasi MCPM yang sempat berkunjung ke Semau.
Selain itu, para pekerja- yang juga kebanyakan adalah orang tua murid, bersedia dibayarkan upahnya setengah dari harga pasaran. Begitu juga dengan supplier barang yang memberikan potongan harga, dan setiap angkutan yang lewat diminta untuk mengangkut sebagian bahan material. Tak heran dengan jerih keras ini masyarakat berhasil menyisihkan dana pembangunan hingga Rp. 65 juta! Wah hebat ya?
Masyarakat kemudian sepakat dana sebesar ini akan digunakan untuk penambahan satu ruang kelas, selain dua ruang kelas baru dan satu ruang kantor yang didanai dari program. Alasannya, kata salah seorang warga, jika siswa kelas 7 sudah menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun, mereka masih punya satu kelas untuk pendidikan dasar selanjutnya.
Denny juga menambahkan, jika tahun depan wajib belajar sembilan tahun selesai, tentu Pemerintah akan melanjutkan dengan wajib belajar 12 tahun. Di daerah lain mungkin mereka sudah siap dengan program tersebut. Tapi bagaimana dengan semau, kalau menunggu bantuan berikutnya belum tentu datang.
“Masak orang sudah siap tinggal landas, tapi kita masih tinggal dilandasan saja? katanya lagi.
Berkat dukungan dan semangat masyarakat, kini pembangunan tembok SATAP Huilelot sudah mulai terlihat. Beberapa bulan ke depan sekolah itu diharapkan selesai bisa dibangun. “Saya yakin ini akan jadi kejutan buat semua orang. Ini bukan kekuatan suwanggi, tapi masyarakat yang membuat SATAP Heulilot menjadi ada,” ujar Denny meyakinkan.
Pasalnya, pulau ini sangat terkenal dengan suwangginya alias ilmu hitam. “Percaya tidak percaya, tapi jika ingin selamat sampai ke seberang, cukup berdo’a dan jangan buka mata sepanjang perjalanan.” kata Denny.
Perjalanan laut ke pulau ini hanya memakan waktu 30 menit. Di pulau itu terdapat delapan sekolah dasar, dua sekolah menengah pertama dan satu sekolah menengah atas. Setiap tahun sekitar 400 murid lulus dari sekolah dasar. Sayangnya, sebagian besar mereka tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Sebuah SATAP di desa itu hanya mampu menampung 20 siswa untuk kelas 7. Selebihnya, terpaksa ke luar pulau atau malah putus sekolah.
Kondisi yang memperihatinkan ini membulatkan tekad Denny dan berjuang melawan rasa takutnya. Di kepalanya hanya ada satu pikiran, bagaimana caranya agar anak-anak Semau ini juga bisa menikmati pendidikan dasar sembilan tahun.
Selama sebulan Denny menjalankan sebuah “pergumulan”. Setiap hari, jika ada kesempatan, ia melakukan sosialisasi untuk meyakinkan masyarakat mengenai pentingnya pembangunan SATAP ini. Mulanya, masyarakat mengacuhkannya, malah banyak yang menantang kalau ia tak akan berhasil membangun sekolah yang didanai dari Program Pendidikan Dasar Kerjasama Australia Indonesia (AIBEP) ini. Tapi sarjana teknik lulusan Universitas Katolik Waidyamandira ini tak gentar dan menerima tantangan itu.
Beberapa kali ia mengadakan pertemuan, mengundang para tokoh masyarakat dan orang tua murid untuk membahas pembangunan sekolah. “Saya datang ke sini atas perintah anak-anak Bapak dan Ibu. Mereka ingin punya masa depan. Dan itu artinya, mereka harus punya sekolah,” ujarnya. Pada saat yang sama, ia terus berdoa dan meminta agar Sang Maha Kuasa memudahkan jalannya. “Pokoknya, tak ada yang lebih membulatkan kecuali anak-anak itu bisa sekolah,” ujar mantan konsultan kantor dinas Pendidikan di Kabupaten Flores itu.
Pergumulan itu rupanya membuahkan hasil. Perlahan tapi pasti, masyarakat akhirnya mulai yakin.
Hebatnya, masyarakat tak hanya setuju sekolah itu dibangun, tapi mereka juga bersedia berpartisipasi.
Setiap hari Sabtu dan Minggu kepala desa mengatur kelompok kerja untuk mencongkel baru-batu dari lahan sekolah. Maklum, seperti halnya di wilayah lain di Kupang, tanah di Semau juga sangat keras dan berbatu-batu. Sementara kelompok ibu-ibu secara sukarela menyiapkan makanan untuk para pekerja.
Anak-anak pun tahu mau kalah, setiap hari mereka membawa sebotol air untuk menyirami tanah sekolah. “Mereka semangat sekali untuk membangun sekolah itu,” ujar Alexander Setiadji, Auditor Invetigasi MCPM yang sempat berkunjung ke Semau.
Selain itu, para pekerja- yang juga kebanyakan adalah orang tua murid, bersedia dibayarkan upahnya setengah dari harga pasaran. Begitu juga dengan supplier barang yang memberikan potongan harga, dan setiap angkutan yang lewat diminta untuk mengangkut sebagian bahan material. Tak heran dengan jerih keras ini masyarakat berhasil menyisihkan dana pembangunan hingga Rp. 65 juta! Wah hebat ya?
Masyarakat kemudian sepakat dana sebesar ini akan digunakan untuk penambahan satu ruang kelas, selain dua ruang kelas baru dan satu ruang kantor yang didanai dari program. Alasannya, kata salah seorang warga, jika siswa kelas 7 sudah menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun, mereka masih punya satu kelas untuk pendidikan dasar selanjutnya.
Denny juga menambahkan, jika tahun depan wajib belajar sembilan tahun selesai, tentu Pemerintah akan melanjutkan dengan wajib belajar 12 tahun. Di daerah lain mungkin mereka sudah siap dengan program tersebut. Tapi bagaimana dengan semau, kalau menunggu bantuan berikutnya belum tentu datang.
“Masak orang sudah siap tinggal landas, tapi kita masih tinggal dilandasan saja? katanya lagi.
Berkat dukungan dan semangat masyarakat, kini pembangunan tembok SATAP Huilelot sudah mulai terlihat. Beberapa bulan ke depan sekolah itu diharapkan selesai bisa dibangun. “Saya yakin ini akan jadi kejutan buat semua orang. Ini bukan kekuatan suwanggi, tapi masyarakat yang membuat SATAP Heulilot menjadi ada,” ujar Denny meyakinkan.
Semau kurang mendapat perhatian dari pemda Kab Kupang, apalagi semau selatan. Mudah-mudahan dengan terbentuknya kecamatan Semau Selatan ini pembangunan di Akle dan sekitarnya bisa mengalami kemajuan. Hidup Nusa Bungtilu!
ReplyDeletePulau ini cocok untuk pengembangan destinasi wisata menggantikan kupang yang telah membosankan tanpa alternatif obyek wisata .
ReplyDeletePulau Semau Saaaaangat dan amaaaaaat-amat cocok untuk didirikan sebuah sekolah kejuruan dengan asrama sehingga para siswa bisa belajar dengan baik.
lokasi yang cocok di sekitar pantai onanbalu. Cocok 1 SMK dengan jurusan pariwisata, kelautan, pertanian/peternakan. Bila perlu Akademi Kelautan bisa dibangun disini. Tokoh dan tua adat pasti bersedia menyiapkan lahan.
Waaaah sungguh luar biasa pulau ini. hanya pemerintah terlalu tidak peduli dengan pembanguan di pulau ini.
Kalau dapat semau bergabung ke kota kupang saja...
Biarkan orang berkomentar tentang pulau magic, itu adalah cirikhas/ keunggulan Pulau Semau. Satu Bukti bahwa banyak orang betah setelah berada di Semau karena sebenarnya masyarakat semau sangat santun, bersahabat dan berbudaya.